Rabu, 23 Maret 2016

Distribusi Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seluruh aspek kehidupan manusia telah di atur sedemikian rupa di dalam islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Aspek ekonomi dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan invidu ataupun bermasyarakat. Sebuah keadilan masyarakat sangat tergantung pada sIstem ekonomi yang di terapkan oleh sebuah pemerintahan. Pembahasan mengenai distribusi pendapatan, tidak terbatas dari pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut dalam sebuah negara yang menentukan sumber ataupun cara melakukan pendistribusian pendapatan.

            Dasar karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah antara produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial.

            Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengakhiri kesengsaraan dimuka bumi ini adalah dengan menerapkan keadilan ekonomi. Kebahagiaan akan mudah dicapai dengan penerapan perekonomian yang mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Islam menegaskan untuk para penguasa, agar meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Pajak yang diterapkan atas kekayaan seseorang bertujuan untuk membantu yang miskin. Sementara dalam Islam Allah mensyari’atkan zakat. Jika hal ini dijadikan konsep distribusi pendapatan, InsyaAllah sistem perekonomianpun akan berjalan lancar dan masyarakat akan sejahtera.
B.     Tujuan
1.      Memahami makna distribusi yang adil dalam Islam
2.      Mahasiswa mampu mengidentidikasi distribusi yang adil dalam Islam

C.    Manfaat
1.      Memberikan pemahaman tentang distribusi yang adil dalam Islam
2.      Membantu mahasiswa dalam mengidentifikasi kegiatan distribusi yang adil dalam Islam




















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Makna Distribusi dalam Islam
Distribusi adalah suatu proses penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan para pemakai. Konsep dasar yang diterapkan adalah system kapitalis, hal ini akan menimbulkan permasalahan dalam perbedaan kepemilikan, pendapatan dan harta peninggala. Jika asas yang di anut adalah sosialisme, maka system ini akan lebih melihat bahwa kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan.

Hasil yang diperoleh dalam proses distribusi maka tergantung pada usaha subjek. Oleh karena itu kapabilitas dan bakat seseorang sangat mempengaruhi tingkat distribusi pendapatan. Untuk mewujudkan kebersamaan, maka perlu adanya alokasi produksi melalui cara yang telah diatur oleh negara untuk pendistribusian kekayaan alam berserta sumbernya.

Interaksi yang baik antara produsen dan konsumen sangat berpengaruh pada pendapatan. Konsep moral ekonomi yang berkaitan dengan kepemilikan dan kekayaan harus dipahami untuk tujuan menjaga persamaan ataupun mengikis kesenjangan sosial. Idealisme ini harus disepakati agar tercapainya standar hidup secara umum dan pencegahan eksploitasi kelompok kaya dan kelompok miskin.

Saluran distribusi adalah suatu jalur perantara pemasaran dalam berbagai aspek barang atau jasa dari tangan produsen ke konsumen. Antara pihak produsen dan konsumen terdapat perantara  pemasaran, yaitu wholesaler (distributor atau agen) yang melayani pembeli.

Ilmu ekonomi tentang distribsi menjelaskan adanya pembagian kekayaan yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi, atau pemilik pelaku ekonomi yang secara aktif memprodusinya. Hal tersebut akan memiliki pengaruh terhadap distribusi-sosial kekayaan masyarakat yang tidak merata. Maka dalam kedamaian social selalu menjadi taruhan dan konflik antara si kaya dan si miskin.

Kemakmuran tidak akan bisa dirasakan apabila masih ada beberapa masyarakat yang hidup dalam lautan kemiskinan, oleh sebab itu perlu adanya pemerataan kekayaan untuk mewujudkan kedamaian, kebahagiaan dan kemakmuran.
2.      Zakat
            Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.
Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban shalat dan manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial.Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut.Pemahaman shalat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.
            Zakat menurut segi kebahasaan berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik.Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Ibnu Taimiah, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi.
Zakat menurut istilah berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt.untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu.Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat.
            Zakat dalam Al-Qur’an dan hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah, seperti firman Allah swt.yang berarti, "Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu itu akan menjadi ketenteraman buat mereka."(Q.S.At Taubah, 103).
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. ketika memberangkatkan Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda, "Beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan kepada fakir miskin di kalangan mereka." (Hadis ini diketengahkan oleh banyak perawi)
3.      Hukum Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat, hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau dikenal dengan istilah faraidh. Merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku kata dari kata faridah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti.
Hukum kewarisan islam merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim. Disamping itu, hukum kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian pengertian dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan teoritik. Pengamalannya bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah).
Beberapa ayat al-Qur’an yang yang relevan dengan hukum waris adalah sebagai berikut:
a.       Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya  mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q. S. An-Nisa’: 11).
b.      “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah (Rasul)-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepda Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. (Q. S. An-Nisa’; 59).
c.       “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak  dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’; 7).
d.      “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu  jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi Maha Penyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).
e.       Ibnu Abbas r.a. “Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashobah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhori-Muslim).


FUNGSI KEWARISAN
Islam datang menawarkan konsep kewarisan baru yang mampu menampung seluruh aspirasi keadilan. Ada empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur’an: Pertama, islam mendudukkan anak bersama dengan orang tua pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan kewarisan di luar islam, orang mungkin hanya menjadi ahli waris kalau pewaris tidak mempunyai keturunan. Kedua, islam memberi kemungkinan saudara berserta orang tua (minimal ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi arab jahiliyah yang menjadikan istri sebagai harta yang dapat diwariskan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
Kewarisan merupakan ilmu yang berhubungan dengan harta milik, bila dalam pembagiannya tidak transparan dan berdasarkan kekuatan hukum yang jelas, dikhawatirkan di kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Begitu pentingnya ilmu kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya: Dari Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmupun hampir hilang, sampai-sampai dua orang bersengketa dalam urusan faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaiman penyelesainnya”. (Basyir, 2001: 7).
Hadits Nabi tersebut merupakan penekanan akan pentingnya mempelajari faraidh, agar umat isllam tidak mudah berselisih dikemudian hari akibat tidak adanya orang yang mengetahui ilmu faraidh. Paling tidak ada tiga fungsi kewarisan islam, yaitu:
a.       Sebagai sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris sepeninggal pewaris.
b.      Sebagai usaha preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang dilarang oleh agama (QS. IV: 37).
c.       Sebagai motivator setiap muslim untuk berusaha lebih giat guna memberikan kebaikan bagi keturunan sepeninggalnya.
4.      Hukum Wasiat
Merupakan Pendistribusian harta kepada orang lain setelah pemilik harta tersebut meninggal, makksimal 1/3 harta yang ditinggalkan (warisan) 
Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non ekonomi.
Berikut landasan hukumnya :
a.       Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu , setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Akan tetapi barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan anatra mereka, maka tidaklah adalah dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS Al - Baqarah : 2 : 180-182)

b.      Abu Umamah mengatakan bahwa ia mendengar utusan Allah bersabda di dalam khotbah beliau di Tahun Haji Wada’, “Allah telah menetapkan hak bagi setiap orang, dan tidak boleh ada wasiat bagi ahli waris.” ( Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sebelum diturunkan wahyu tentang pembagian warisan, ditetapkan bahwa warisan haruslah dibuat dengan memperhatikan orang tua dan kerabat dekat. Tetapi dalam Al-Qur’an (surat An-Nisaa’, 4) tentang hukum waris diwahyukan dan disitu tertera bagian untuk orang tua, anak-anak, pasangan (suami atau istri) dan kaum kerabat lainnya, maka wasiat tidak lagi berlaku bagi ahli waris, seperti yang dinyatakan oleh Nabi SAW. Wasiat juga tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan sesudah kematiannya.
Hukum wasiat mendorong jihad melawan kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, kebodohan dan buta huruf. Dimana akan membantu terwujudnya transfer dari yang kaya ke yang miskin.
5.      Hukum Wakaf
Merupakan Menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran islam.
Berikut landasan lembaga wakaf diilhmi ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW :
1.      Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apasaja yang kamu nafkahkan, mkaka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ( QS. Al – ‘Imran 3 : 92)
2.      Ibnu Umar mengatakan bahwa ketika ‘Umar mnedapatkan sebidang tanah di Khaibar, ia menemui Nabi dan berkata : “ Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya ingin agar tanah itu lebih bernilai dari apa pun yang pernah saya dapatkan. Apa yang engkau perintahkan kepada saya ? Beliau menjawab : “ Jika engkau mau, engkau dapat menjadikan tanahmu itu sebagai milik ynag tidak dapat dicabut dan memberikan hasilnya untuk sedekah.” Maka ‘Umar memberikannya sebagai sedekah dengan menyatakan bahwa tanah itu tidak boleh dijual, diberikan ataupun diwariskan, dan dia memberikan hasilnya sebagai sedekah untuk diberikan keopada orang miskin, kaum kerabat, pemerdekaan budak, jalan Allah, para perantau dan tetamu. Tak ada dosa bagi pengurusnya jika makan dari padanya secara patut atau memberi seseorang untuk di makan, asal dia tidak menyimpannya (untuk dirinya sendiri). Ibnu Sirin berkata: “Asal ia tidak menjadikannya modal bagi dirinya.” (Bukhari dan Muslim)
Seperti yang telajh disampaikan dia tas seorang muslim dapat mewasiatkan sepertiga dari hartanya sesudah kematiannya. Tetapi dalam hidupnya ia memiliki hak untuk mengeluarkan seluruh hartanya di ajlan Allah

Wakaf dimaksudkan bahwa, harta mengalir dari pemberi wakaf (yakni waqif) kepada milik Allah, tetapi hasil atau manfaatnya di baktikan kepada orang miskin, orang sakit, perantau, atau yang lainnya yang dikenal oleh Islam. Lemabga wakaf berperan dalma menghapus kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, buta huruf, sehingga terciptalah distribusi kekayaan yang merata.
6.      Zakat Fitri
       Nabi kaum Muslimin telah menetapkan bahwa setiap Muslim yang kaya harus menunaikan Shadaqatul Fitri kepada kaum Muslimin yang miskin. Fitr berarti Shadaqah yang bersifat wajib bagi setiap Muslim yang memiliki harta senilai nisab zakat. Muslim yang kaya diharuskan membayarnya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya, anak-anak, pembantu, dan budaknya. Ukuran zakat fitri dalam bentuk gandum, tepung, bur, kurma, dan sebagainya, sebesar satu sha’ yang ekuivalen dengan 112 ons. Jenis zakat ini harus dibayar di bulan Ramadhan dan harus sebelum dilangsungkannya shalat Idul Fitri, sehingga keinginan kaum miskin dalam hubungannya dengan festival Idul Fitri dapat dipenuhi dan mereka dapat menikmati perayaan itu.
Beberapa Hadis Nabi disampaikan berikut ini untuk memahami arti penting dan aturan zakat.
1.      “Ibnu ‘Umar melaporkan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fitri-satu sha’ kurma kering atau bur-atas budak dan orang merdeka, lelaki maupun perempuan, tua dan muda diantara kaum Muslimin. Beliau memerintahkan agar pembayarannya dilakukan sebelum orang pergi melaksanakan shalat Id.” (Bukhari dan Muslim).
2.      Abu Sa’id al-Khudri mengatakan: “Kami bisa membayar zakat fitrah: satu sha’ makanan pokok, atau satu sha’ bur, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ kismis.” (Bukhari dan Muslim).
3.      Ibnu ‘Abbas melaporkan bahwa Rasulullah mewajibkan zakat firah  sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari percakapan kotor dan ucapan sia-sia serta sebagai pemberian makan bagi si miskin. (Abu Dawud).
Sekalipun zakat fitri tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, dengan tegas Nabi Muhammad SAW menyebut dan mewajibkannya. Zakat itu, seperti yang tersebut dalam tiga Hadis di atas, merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan berfungsi membersihkan orang-orang yang berpuasa (Ramadhan) dan memberi makan orang-orang miskin.
7.      Uang Tebusan
       Uang tebusan di tetapkan oleh Al-Qur’an untuk beberapa jenis dosa tertentu. Orang yang melakukan dosa baik disengaja maupun tidak, diperintah oleh Al-Qur’an untuk menunaikan sedekah yang telah ditetapkan untuk menebus dosa tersebut. Beberapa ayat Al-Qur’an yang relevan dengan uang tebusan ini disampaikan dibawah ini.
1.      (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]: 184).
2.      Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),  kecuali karena terlasah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika keluarga mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dalam kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak memperolehnya maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan tobat daripada Allah. Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bujaksana. (QS. An-Nisaa’ [4]: 92).
3.      Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumaph-sumpahmuyang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al-Maidaah [5]: 89).
4.      Orang-orang yang menzhiharistri mereka, kemudian ia hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujaadilah [58]: 3-4).
Menurut keempat ayat suci di atas, uang tebusan meliputi:
·         Tebusan karena tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan.
·         Tebusan karena membunuh seorang Muslim dengan tidak segaja
·         Tebusan karena melanggar atau membatalkan sumpah
·         Tebusan karena seorang suami men-zhihar istrinya.
Di dalam Hadis, ada beberapa jenis uang tebusan, seperti tebusan bagi tentara Islam yang tertawan oleh musuh  dan tebusan bagi suami-istri yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan, ketika mereka sedang berpuasa. Semua tebusan tersebut juga merupakan sebuah saluran bagi aliran kekayaan dari si kaya kepada si miskin.
8.      Perbedaan Infak dan sedekah
Islam memiliki tujuan dasar untuk mewujudkan kebahagiaan (falah) para pemeluknya di dunia dan akhirat, serta mewujudkan persaudaraan di antara anggota masyarakat muslimah (ummah). Jika sedekah dan infaq di anggap sebagai salah satu ibadah yang mampu memberikan manfaat untuk orang yang tidak mampu. Dalam hal ini negara dapat melakukan partisipasinya melalui pungutan pajak dan mendorong kamu kaya untuk menyumbangkan secara sukarela hartanya untuk menghapuskan kemiskinan dan kebutuhan.
Infak dan sedekah termasuk amal ibadah yang dianjurkan untuk dibayarkan dalam ajaran agama Islam. Ibadah tersebut dilakukan dengan cara memberikan sesuatu yang kita miliki untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Dalam islam amal sedekah dan infaq tidak diwajibkan, tetapi memiliki sifat Sunnah untuk dilakukan umat Islam. Menurut ahli fiqih, pengertian infak adalah semua jenis pembelanjaan seorang muslim untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Sedangkan sedekah adalah bentuk infak yang lebih khusus lagi, yaitu pembelanjaan yang dilakukan di jalan Allah. Bersedekah tidak harus berupa uang. Kita juga dapat melakukannya dengan cara berbagi pikiran yang berguna dan membantu dengan tenaga.
Sedangkan zakat adalah mengambil sebagian harta dengan ketentuan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu. Menurut kewajiban melakukannya, zakat adalah amal ibadah yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yang dikenai kewajiban membayar zakat dan diberikan kepada 8 golongan masyarakat
Beberapa ayat Al-Quran dan Hadist Nabi yang menjelaskan perbedaan zakat, infaq dan sedekah :
Surat Al – Baqarah 3 – 5
Dalam ayat ini menunjukkan beta infak di jalan Allah itu merupakan konsekuensi dari ketakwaan.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُوْنَ
3) Yang percaya kepada yang ghaib , dan yang mendirikan sembahyang dan dari apa yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَوَ
(4) Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang di­turunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau, dan kepada akhirat mereka yakin
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(5) Mereka itulah yang berada atas petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beroleh kejayaan.
Al Baqarah ayat 177
Dalam ayat ini Allah memberikan perintah untuk berzakat sebelum datangnya penyesalan yang tak akan tertebus
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ(177)
“ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa “ (177)
Hadist Nabi Muhammad SAW
Anis mengatakan bahwa Rasululloh SAW bersabda : “Sungguh sedekah itu meredakan murka Allah dan menghilangkan rasa sakit sakratulmaut.” (Tirmidzi)
9.      Memberi Makan orang Miskin
            Memberi makan orang miskin adalah salah satu bentuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum dikalangan Muslim yang berbudi luhur
Ganjaran untuk amal tersebut banyak sekali dan baik Al-Quran maupun Nabi kaum Muslimin mendorong Kaum Mukminin untuk memberi makan kamu miskin dan mereka memerlukan. Amal ini juga merupakan langkah baik untuk mengurangi tekanan kebutuhan dan kesengsaraan masyarakat Islam.
Beberapa ayat Al-Quran dan Hadist Nabi yang menjelaskan tentang perintah untuk memberi makan kamu miskin :
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨)
“ Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” QS. Al –Hajj : 22 (28)
Hadist Rasululloh
Abdulloh bin Amr melaporkan bahwa Rasululloh SAW bersabda “ Bertaqwalah kepada Yang Maha Pengasih, berilah makanan dan sebarkanlah keselamatan, maka kalian akan memasuki surga dengan selamat.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah) .
10.    Piutang yang Baik Kepada Allah   
Adalah karunia Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa setiap pengeluaran yang dilakukan oleh seseorang di jalan-Nya untuk sedekah maupun infak dianggap-Nya sebagai utang-Nya dan Dia akan membayarnya kembali dengan berlipat ganda. Orang kaya terdorng untuk memberi pinjaman kepada Allah dalam bentuk pertolongan kepada kaum miskin dan unutk mendapatkan imbalan pahala berlipat dari-Nya. Beberapa ayat Al-Qur’an yang menyinggung persoalan ini sebagai berikut :
a.       Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengn lipat ganda yang lebih banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-baqoroh [2]:245)
b.      Siapkan yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS. Al-Hadid [57]:11)
Berikut ini adalah komentar  dari cendekiawan muslim mengenai konsep piutang :
Menurut Abdul A’la Maududi : “piutang yang baik” adalah piutang yang diberikan tanpa disertai gagasan mengenai perolehan maupun kepentingan pribadi melainkan melulu diberikan dengan satu-satunya niat untuk mendapatkan ridha Allah. Allah dalam karunianya mencatat harta yang dibelanjakan di jalan-Nya sebagai pinjaman kepada dirinya sendiri. Dia berjanji bahwa diatidak hanya akan mengembalikan utang itu saja melainkan akan menambahnya dengan berlipat, asal saja piutang itu adalah piutang yang baik dalam arti sebernanya dipinjamkan melulu untuk mencari ridha-Nya dan digunakan untuk sasaran yang Dia ridhai.
11.    Menginfakan Kelebihan
Bentuk sedekah yang tertinggi, yang selalu merupakan idealisme bagi seorang muslim, adalah sedekah dari kelebihan (anfaq al-Afw). Bentuk sedekah ini bermakna, bahwa seorang muslim menyedekahkan apa saja yang dimilikinya lebih dari dan sesudah tercukupi kebutuhanya. Kata Afw berarti harta yang tersisa sesudah tercukupinya kebutuhan. Ajaran Al-Qur’an mengenai hal ini adalah: “...dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” (QS. Al-Baqarah [2]:219)
Jika prinsip anfaq al-Afw betul-betul dilaksanakan sepenuhnya dan seluruh mukmin mengeluarkan seluruh hartanya di jalan Allah, maka tidak akan ada lagi kemiskinan, penyakit, buta huruf maupun segala bentuk keterbelakangan yang lain di dalam masyarakat muslim. Distribusi kekayaan tidak dapat diwujudkan lebih baik dari pada cara ini.
12.    Larangan Menimbun Harta
            Penimbunan harta dikutuk oleh Islam dengan ancaman siksa yang pedih, karena perputaran harta itu merupakan keharusan.
Berikut ini adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyoroti pandangan Islam mengenai penimbunan.
Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. (QS. Al-Ma’arij [70] : 15-18).
“Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah biasa tidak menyimpan apa pun juga untuk besok.” (HR. Tirmidzi)
Inti dari larangan menimbun harta adalah karena kegiatan menimbun harta itu menghalangi dan membantu beredarnya harta di masyarakat dan menjadikan harta itu terkonsentrasi di tangan sedikit orang. Itu sama artinya dengan menjadikan harta itu tersia-siakan dan akibatnya menyengsarakan hidup banyak orang.
13.    Yang Terlarang
            Cara ilegal dan haram yang dilakukan oleh individu yang memiliki hak utama mengeruk keuntungan besar dengan merebut bagian milik orang lain. Guna menghalangi terjadinya konsentrasi kekayaan dan menjamin distribusi yang adil dan merata, Islam menetapkan larangan (berbagai cara yang tidak jujur, tidak adil dan ilegal dalam mendapatkan harta). Beberapa hal yang diharamkan yaitu :
a.       Riba atau bunga dalam segala bentuk
b.      Suap dan korupsi
c.       Pendapatan dari minuman keras, narkotika, judi, spekulasi, penjualan forward & games of chance.
d.      Pencurian dan perampokan (pelanggaran pidana)
e.       Pendapatan dari perzinaan, pelacuran,pornografi
f.       Pemalsuan dan pengoplosan barang
g.      Makan harta anak yatim
h.      Menimbun barang dagangan
i.        Tidak membayar hutang
j.        Penggelapan uang
k.      Enggan membayar zakat dan pajak
l.        Upah atau gaji pegawai yang tak dibayarkan
m.    Penyalahgunaan wewenang guna mendapat keuntungan finansial
n.      Pendapat dari eksploitai,pemerasan, penipuan, pemalsuan.
Pandangan Al Quran mengenai cara yang terlarang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.












BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Tujuan dasar islam adalahmewujudkan kebahagiaan para pemeluknya di dunia dan akherat, serta untuk mewujudkan persadaraan di antara anggota masyarakat muslim. Tujuan ini dapat di capai jika distribusi kekayaan di antara para anggota masyarakat Muslim berlangsung tidak adil: jurang antara si kaya dan si miskin dan si miskin amat lebar serta konflik antar kelas terjadi di masyarakat.
Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur, dan merata, Islam menetapkan tindakan-tindakan yang positif dan prohibitif. Tindakan positif seperti zakat, hukum pewarisan. Sedangkan tindakan prohinitif  mencakup dilarangnya bunga, dilarangnya menimbun, dilarangnya minum dan judi dan tindakan lainnya yang dilarang dalam Islam.












DAFTAR PUSTAKA
Sharif Chaudhry, Muhammad. 2014. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar. Jakarta. Kencana.