BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seluruh aspek kehidupan manusia telah di atur sedemikian rupa di dalam
islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Aspek ekonomi dengan tujuan mewujudkan
keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan invidu ataupun bermasyarakat.
Sebuah keadilan masyarakat sangat tergantung pada sIstem
ekonomi yang di terapkan oleh sebuah pemerintahan. Pembahasan mengenai
distribusi pendapatan, tidak terbatas dari pembahasan mengenai konsep moral
ekonomi yang dianut dalam sebuah negara yang menentukan sumber ataupun cara
melakukan pendistribusian pendapatan.
Dasar
karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil
apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat
kelak. Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan
menguntungkan satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah
antara produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu
timbulnya konflik individu maupun sosial.
Oleh
karena itu, salah satu upaya untuk mengakhiri kesengsaraan dimuka bumi ini
adalah dengan menerapkan keadilan ekonomi. Kebahagiaan akan mudah dicapai
dengan penerapan perekonomian yang mendahulukan kepentingan bersama daripada
kepentingan individu. Islam menegaskan untuk para penguasa, agar meminimalkan
kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Pajak yang diterapkan atas
kekayaan seseorang bertujuan untuk membantu yang miskin. Sementara dalam Islam
Allah mensyari’atkan zakat. Jika hal ini dijadikan konsep distribusi
pendapatan, InsyaAllah sistem perekonomianpun akan berjalan lancar dan
masyarakat akan sejahtera.
B.
Tujuan
1.
Memahami makna distribusi yang adil
dalam Islam
2.
Mahasiswa mampu mengidentidikasi
distribusi yang adil dalam Islam
C.
Manfaat
1.
Memberikan pemahaman tentang distribusi
yang adil dalam Islam
2.
Membantu mahasiswa dalam
mengidentifikasi kegiatan distribusi yang adil dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Makna
Distribusi dalam Islam
Distribusi
adalah suatu proses penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan
para pemakai. Konsep dasar yang diterapkan adalah system kapitalis, hal ini
akan menimbulkan permasalahan dalam perbedaan kepemilikan, pendapatan dan harta
peninggala. Jika asas yang di anut adalah sosialisme, maka system ini akan
lebih melihat bahwa kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan.
Hasil yang
diperoleh dalam proses distribusi maka tergantung pada usaha subjek. Oleh
karena itu kapabilitas dan bakat seseorang sangat mempengaruhi tingkat
distribusi pendapatan. Untuk mewujudkan kebersamaan, maka perlu adanya alokasi
produksi melalui cara yang telah diatur oleh negara untuk pendistribusian
kekayaan alam berserta sumbernya.
Interaksi
yang baik antara produsen dan konsumen sangat berpengaruh pada pendapatan.
Konsep moral ekonomi yang berkaitan dengan kepemilikan dan kekayaan harus
dipahami untuk tujuan menjaga persamaan ataupun mengikis kesenjangan sosial.
Idealisme ini harus disepakati agar tercapainya standar hidup secara umum dan
pencegahan eksploitasi kelompok kaya dan kelompok miskin.
Saluran
distribusi adalah suatu jalur perantara pemasaran dalam berbagai aspek barang atau
jasa dari tangan produsen ke konsumen. Antara pihak produsen dan konsumen
terdapat perantara pemasaran, yaitu wholesaler (distributor
atau agen) yang melayani pembeli.
Ilmu
ekonomi tentang distribsi menjelaskan adanya pembagian kekayaan yang dihasilkan
oleh pelaku ekonomi, atau pemilik pelaku ekonomi yang secara aktif
memprodusinya. Hal tersebut akan memiliki pengaruh terhadap distribusi-sosial
kekayaan masyarakat yang tidak merata. Maka dalam kedamaian social selalu
menjadi taruhan dan konflik antara si kaya dan si miskin.
Kemakmuran
tidak akan bisa dirasakan apabila masih ada beberapa masyarakat yang hidup
dalam lautan kemiskinan, oleh sebab itu perlu adanya pemerataan kekayaan untuk
mewujudkan kedamaian, kebahagiaan dan kemakmuran.
2. Zakat
Zakat adalah salah satu
ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang
memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Shalat,
sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.
Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban shalat dan
manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi.Namun tidak demikian
pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk
keshalehan sosial.Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum
muslimin memahami tentang hal tersebut.Pemahaman shalat sudah merata dikalangan
kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.
Zakat menurut segi
kebahasaan berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik.Dinamakan zakat karena,
dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari
bahaya. Menurut Ibnu Taimiah, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut
menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi.
Zakat menurut istilah berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh
Allah swt.untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan
untuk orang tertentu.Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil
dari harta orang yang berzakat.
Zakat dalam Al-Qur’an dan
hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah, seperti firman Allah swt.yang
berarti, "Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu
itu akan menjadi ketenteraman buat mereka."(Q.S.At Taubah, 103).
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. ketika memberangkatkan Muaz bin
Jabal ke Yaman, beliau bersabda, "Beritahulah mereka, bahwa Allah
mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan
kepada fakir miskin di kalangan mereka." (Hadis ini diketengahkan oleh
banyak perawi)
3.
Hukum
Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan
harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak,
seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau
dikenal dengan istilah faraidh. Merupakan bentuk jamak dari faridah,
yang diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah,
yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku
kata dari kata faridah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti.
Hukum kewarisan islam merupakan salah satu bentuk
perhatian terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim. Disamping
itu, hukum kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an untuk
tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian
pengertian dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum
aplikatif, bukan teoritik. Pengamalannya bersifat wajib ‘ain dan
mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah).
Beberapa ayat al-Qur’an yang yang relevan dengan hukum
waris adalah sebagai berikut:
a. “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu
semuannya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya.
(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q. S.
An-Nisa’: 11).
b. “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah (Rasul)-Nya dan Ulil Amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepda Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. (Q. S.
An-Nisa’; 59).
c. “Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S.
An-Nisa’; 7).
d. “Dan bagimu
(suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat
seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yang
ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) atau sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki
(seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan
Allah Maha Mengtahui lagi Maha Penyantun”. (Q. S.
An-Nisa’; 12).
e. Ibnu Abbas r.a.
“Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya
masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashobah yang lebih
dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhori-Muslim).
FUNGSI KEWARISAN
Islam datang menawarkan konsep kewarisan baru yang mampu
menampung seluruh aspirasi keadilan. Ada empat macam konsep baru yang
ditawarkan Al-Qur’an: Pertama, islam mendudukkan anak bersama dengan
orang tua pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan kewarisan di luar
islam, orang mungkin hanya menjadi ahli waris kalau pewaris tidak mempunyai
keturunan. Kedua, islam memberi kemungkinan saudara berserta orang tua
(minimal ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga,
suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi
arab jahiliyah yang menjadikan istri sebagai harta yang dapat diwariskan.
Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam
keadaan tertentu pula.
Kewarisan
merupakan ilmu yang berhubungan dengan harta milik, bila dalam pembagiannya
tidak transparan dan berdasarkan kekuatan hukum yang jelas, dikhawatirkan di
kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Begitu pentingnya
ilmu kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya: Dari
Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak,
pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah
manusia yang suatu ketika mati dan ilmupun hampir hilang, sampai-sampai dua
orang bersengketa dalam urusan faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai
orang yang memberi tahu bagaiman penyelesainnya”. (Basyir, 2001: 7).
Hadits Nabi
tersebut merupakan penekanan akan pentingnya mempelajari faraidh, agar umat
isllam tidak mudah berselisih dikemudian hari akibat tidak adanya orang yang
mengetahui ilmu faraidh. Paling tidak ada tiga fungsi kewarisan islam, yaitu:
a. Sebagai sarana
prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris sepeninggal pewaris.
b. Sebagai usaha
preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang dilarang oleh
agama (QS. IV: 37).
c. Sebagai
motivator setiap muslim untuk berusaha lebih giat guna memberikan kebaikan bagi
keturunan sepeninggalnya.
4.
Hukum
Wasiat
Merupakan
Pendistribusian harta kepada orang lain setelah pemilik harta tersebut
meninggal, makksimal 1/3 harta yang ditinggalkan (warisan)
Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non ekonomi.
Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non ekonomi.
Berikut landasan hukumnya :
a. Diwajibkan
atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu , setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Akan tetapi barang
siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau
berbuat dosa, lalu ia mendamaikan anatra mereka, maka tidaklah adalah dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS Al -
Baqarah : 2 : 180-182)
b. Abu
Umamah mengatakan bahwa ia mendengar utusan Allah bersabda di dalam khotbah
beliau di Tahun Haji Wada’, “Allah telah menetapkan hak bagi setiap orang, dan
tidak boleh ada wasiat bagi ahli waris.” ( Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sebelum diturunkan
wahyu tentang pembagian warisan, ditetapkan bahwa warisan haruslah dibuat
dengan memperhatikan orang tua dan kerabat dekat. Tetapi dalam Al-Qur’an (surat
An-Nisaa’, 4) tentang hukum waris diwahyukan dan disitu tertera bagian untuk
orang tua, anak-anak, pasangan (suami atau istri) dan kaum kerabat lainnya,
maka wasiat tidak lagi berlaku bagi ahli waris, seperti yang dinyatakan oleh
Nabi SAW. Wasiat juga tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh harta
yang ditinggalkan sesudah kematiannya.
Hukum wasiat mendorong jihad melawan kemiskinan,
kesengsaraan, penyakit, kebodohan dan buta huruf. Dimana akan membantu
terwujudnya transfer dari yang kaya ke yang miskin.
5.
Hukum Wakaf
Merupakan Menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya untuk
kepentingan umum sesuai dengan ajaran islam.
Berikut landasan lembaga wakaf diilhmi ayat Al-Qur’an dan
hadis Nabi Muhammad SAW :
1. Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apasaja yang kamu
nafkahkan, mkaka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ( QS. Al – ‘Imran 3 : 92)
2. Ibnu Umar mengatakan bahwa ketika ‘Umar mnedapatkan sebidang
tanah di Khaibar, ia menemui Nabi dan berkata : “ Hai Rasulullah SAW, saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya ingin agar tanah itu lebih bernilai
dari apa pun yang pernah saya dapatkan. Apa yang engkau perintahkan kepada saya
? Beliau menjawab : “ Jika engkau mau, engkau dapat menjadikan tanahmu itu
sebagai milik ynag tidak dapat dicabut dan memberikan hasilnya untuk sedekah.”
Maka ‘Umar memberikannya sebagai sedekah dengan menyatakan bahwa tanah itu
tidak boleh dijual, diberikan ataupun diwariskan, dan dia memberikan hasilnya
sebagai sedekah untuk diberikan keopada orang miskin, kaum kerabat, pemerdekaan
budak, jalan Allah, para perantau dan tetamu. Tak ada dosa bagi pengurusnya
jika makan dari padanya secara patut atau memberi seseorang untuk di makan,
asal dia tidak menyimpannya (untuk dirinya sendiri). Ibnu Sirin berkata: “Asal
ia tidak menjadikannya modal bagi dirinya.” (Bukhari dan Muslim)
Seperti
yang telajh disampaikan dia tas seorang muslim dapat mewasiatkan sepertiga dari
hartanya sesudah kematiannya. Tetapi dalam hidupnya ia memiliki hak untuk
mengeluarkan seluruh hartanya di ajlan Allah
Wakaf dimaksudkan bahwa, harta mengalir dari pemberi wakaf
(yakni waqif) kepada milik Allah, tetapi hasil atau manfaatnya di baktikan
kepada orang miskin, orang sakit, perantau, atau yang lainnya yang dikenal oleh
Islam. Lemabga wakaf berperan dalma menghapus kemiskinan, kesengsaraan,
penyakit, buta huruf, sehingga terciptalah distribusi kekayaan yang merata.
6.
Zakat Fitri
Nabi kaum
Muslimin telah menetapkan bahwa setiap Muslim yang kaya harus menunaikan Shadaqatul Fitri kepada kaum Muslimin
yang miskin. Fitr berarti Shadaqah
yang bersifat wajib bagi setiap Muslim yang memiliki harta senilai nisab zakat.
Muslim yang kaya diharuskan membayarnya tidak hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi juga untuk keluarganya, anak-anak, pembantu, dan budaknya. Ukuran zakat
fitri dalam bentuk gandum, tepung, bur, kurma, dan sebagainya, sebesar satu sha’ yang ekuivalen dengan 112 ons. Jenis
zakat ini harus dibayar di bulan Ramadhan dan harus sebelum dilangsungkannya
shalat Idul Fitri, sehingga keinginan kaum miskin dalam hubungannya dengan
festival Idul Fitri dapat dipenuhi dan mereka dapat menikmati perayaan itu.
Beberapa Hadis Nabi disampaikan berikut ini untuk
memahami arti penting dan aturan zakat.
1.
“Ibnu
‘Umar melaporkan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fitri-satu sha’ kurma kering atau bur-atas budak dan orang merdeka, lelaki
maupun perempuan, tua dan muda diantara kaum Muslimin. Beliau memerintahkan
agar pembayarannya dilakukan sebelum orang pergi melaksanakan shalat Id.”
(Bukhari dan Muslim).
2.
Abu
Sa’id al-Khudri mengatakan: “Kami bisa membayar zakat fitrah: satu sha’ makanan pokok, atau satu sha’ bur,
atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ kismis.” (Bukhari dan Muslim).
3.
Ibnu
‘Abbas melaporkan bahwa Rasulullah mewajibkan zakat firah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa
dari percakapan kotor dan ucapan sia-sia serta sebagai pemberian makan bagi si
miskin. (Abu Dawud).
Sekalipun zakat fitri tidak disebutkan dalam Al-Qur’an,
dengan tegas Nabi Muhammad SAW menyebut dan mewajibkannya. Zakat itu, seperti
yang tersebut dalam tiga Hadis di atas, merupakan kewajiban bagi setiap muslim
dan berfungsi membersihkan orang-orang yang berpuasa (Ramadhan) dan memberi
makan orang-orang miskin.
7.
Uang Tebusan
Uang tebusan
di tetapkan oleh Al-Qur’an untuk beberapa jenis dosa tertentu. Orang yang
melakukan dosa baik disengaja maupun tidak, diperintah oleh Al-Qur’an untuk
menunaikan sedekah yang telah ditetapkan untuk menebus dosa tersebut. Beberapa
ayat Al-Qur’an yang relevan dengan uang tebusan ini disampaikan dibawah ini.
1. (Yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]: 184).
2. Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena terlasah (tidak sengaja), dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika keluarga mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dalam kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak memperolehnya maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan
tobat daripada Allah. Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bujaksana.
(QS. An-Nisaa’ [4]: 92).
3. Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumaph-sumpahmuyang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, adalah kaffarat sumpah-sumpahmu
bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS.
Al-Maidaah [5]: 89).
4. Orang-orang
yang menzhiharistri mereka, kemudian ia hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak),
maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)memberi makan enam
puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih. (QS. Al-Mujaadilah [58]: 3-4).
Menurut keempat ayat suci di atas, uang tebusan meliputi:
·
Tebusan
karena tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan.
·
Tebusan
karena membunuh seorang Muslim dengan tidak segaja
·
Tebusan
karena melanggar atau membatalkan sumpah
·
Tebusan
karena seorang suami men-zhihar
istrinya.
Di dalam Hadis, ada beberapa jenis uang tebusan, seperti
tebusan bagi tentara Islam yang tertawan oleh musuh dan tebusan bagi suami-istri yang melakukan
hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan, ketika mereka sedang berpuasa.
Semua tebusan tersebut juga merupakan sebuah saluran bagi aliran kekayaan dari
si kaya kepada si miskin.
8.
Perbedaan
Infak dan sedekah
Islam memiliki tujuan dasar untuk
mewujudkan kebahagiaan (falah)
para pemeluknya di dunia dan akhirat, serta mewujudkan persaudaraan di antara
anggota masyarakat muslimah (ummah). Jika sedekah dan infaq di anggap sebagai
salah satu ibadah yang mampu memberikan manfaat untuk orang yang tidak mampu.
Dalam hal ini negara dapat melakukan partisipasinya melalui pungutan pajak dan
mendorong kamu kaya untuk menyumbangkan secara sukarela hartanya untuk
menghapuskan kemiskinan dan kebutuhan.
Infak dan sedekah termasuk amal ibadah
yang dianjurkan untuk dibayarkan dalam ajaran agama Islam. Ibadah tersebut
dilakukan dengan cara memberikan sesuatu yang kita miliki untuk memberikan
manfaat bagi orang lain. Dalam islam amal sedekah dan infaq tidak diwajibkan,
tetapi memiliki sifat Sunnah untuk dilakukan umat Islam. Menurut ahli fiqih, pengertian infak
adalah semua jenis pembelanjaan seorang muslim untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, maupun masyarakat. Sedangkan sedekah adalah bentuk infak yang lebih
khusus lagi, yaitu pembelanjaan yang dilakukan di jalan Allah. Bersedekah tidak
harus berupa uang. Kita juga dapat melakukannya dengan cara berbagi pikiran
yang berguna dan membantu dengan tenaga.
Sedangkan zakat adalah mengambil
sebagian harta dengan ketentuan tertentu untuk diberikan kepada kelompok
tertentu. Menurut kewajiban melakukannya, zakat adalah amal ibadah yang wajib
dijalankan oleh setiap muslim yang dikenai kewajiban membayar zakat dan
diberikan kepada 8 golongan masyarakat
Beberapa
ayat Al-Quran dan Hadist Nabi yang menjelaskan perbedaan zakat, infaq dan sedekah
:
Surat Al –
Baqarah 3 – 5
Dalam ayat ini menunjukkan beta infak di jalan
Allah itu merupakan konsekuensi dari ketakwaan.
الَّذِيْنَ
يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنفِقُوْنَ
3)
Yang percaya kepada yang ghaib , dan yang mendirikan sembahyang dan dari apa
yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan.
الَّذِيْنَ
يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَ
بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَوَ
(4)
Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan apa
yang diturunkan sebelum engkau, dan kepada akhirat mereka yakin
أُولَئِكَ
عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(5)
Mereka itulah yang berada atas petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang beroleh
kejayaan.
Al Baqarah ayat 177
Dalam ayat ini Allah memberikan perintah untuk
berzakat sebelum datangnya penyesalan yang tak akan tertebus
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ(177)
“ Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa “ (177)
Hadist Nabi
Muhammad SAW
Anis mengatakan
bahwa Rasululloh SAW bersabda : “Sungguh sedekah itu meredakan murka Allah dan
menghilangkan rasa sakit sakratulmaut.” (Tirmidzi)
9.
Memberi
Makan orang Miskin
Memberi makan orang miskin adalah
salah satu bentuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum
dikalangan Muslim yang berbudi luhur
Ganjaran untuk
amal tersebut banyak sekali dan baik Al-Quran maupun Nabi kaum Muslimin
mendorong Kaum Mukminin untuk memberi makan kamu miskin dan mereka memerlukan.
Amal ini juga merupakan langkah baik untuk mengurangi tekanan kebutuhan dan
kesengsaraan masyarakat Islam.
Beberapa
ayat Al-Quran dan Hadist Nabi yang menjelaskan tentang perintah untuk memberi
makan kamu miskin :
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ (٢٨)
“ Agar mereka
menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah
pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada
mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” QS. Al –Hajj :
22 (28)
Hadist
Rasululloh
Abdulloh bin Amr
melaporkan bahwa Rasululloh SAW bersabda “ Bertaqwalah kepada Yang Maha
Pengasih, berilah makanan dan sebarkanlah keselamatan, maka kalian akan
memasuki surga dengan selamat.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah) .
10.
Piutang yang Baik Kepada Allah
Adalah karunia Allah,
Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa setiap pengeluaran yang dilakukan oleh seseorang
di jalan-Nya untuk sedekah maupun infak dianggap-Nya sebagai utang-Nya dan Dia
akan membayarnya kembali dengan berlipat ganda. Orang kaya terdorng untuk memberi
pinjaman kepada Allah dalam bentuk pertolongan kepada kaum miskin dan unutk
mendapatkan imbalan pahala berlipat dari-Nya. Beberapa ayat Al-Qur’an yang
menyinggung persoalan ini sebagai berikut :
a.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengn lipat ganda yang lebih banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan. (QS. Al-baqoroh [2]:245)
b.
Siapkan yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman
yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS. Al-Hadid [57]:11)
Berikut ini adalah komentar dari cendekiawan muslim mengenai konsep
piutang :
Menurut Abdul A’la Maududi : “piutang
yang baik” adalah piutang yang diberikan tanpa disertai gagasan mengenai
perolehan maupun kepentingan pribadi melainkan melulu diberikan dengan
satu-satunya niat untuk mendapatkan ridha Allah. Allah dalam karunianya
mencatat harta yang dibelanjakan di jalan-Nya sebagai pinjaman kepada dirinya
sendiri. Dia berjanji bahwa diatidak hanya akan mengembalikan utang itu saja
melainkan akan menambahnya dengan berlipat, asal saja piutang itu adalah
piutang yang baik dalam arti sebernanya dipinjamkan melulu untuk mencari
ridha-Nya dan digunakan untuk sasaran yang Dia ridhai.
11.
Menginfakan Kelebihan
Bentuk sedekah yang
tertinggi, yang selalu merupakan idealisme bagi seorang muslim, adalah sedekah
dari kelebihan (anfaq al-Afw). Bentuk sedekah ini bermakna, bahwa seorang
muslim menyedekahkan apa saja yang dimilikinya lebih dari dan sesudah tercukupi
kebutuhanya. Kata Afw berarti harta yang tersisa sesudah tercukupinya
kebutuhan. Ajaran Al-Qur’an mengenai hal ini adalah: “...dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
“yang lebih dari keperluan.” (QS. Al-Baqarah [2]:219)
Jika prinsip anfaq
al-Afw betul-betul dilaksanakan sepenuhnya dan seluruh mukmin mengeluarkan
seluruh hartanya di jalan Allah, maka tidak akan ada lagi kemiskinan, penyakit,
buta huruf maupun segala bentuk keterbelakangan yang lain di dalam masyarakat
muslim. Distribusi kekayaan tidak dapat diwujudkan lebih baik dari pada cara
ini.
12.
Larangan
Menimbun Harta
Penimbunan harta dikutuk oleh Islam
dengan ancaman siksa yang pedih, karena perputaran harta itu merupakan
keharusan.
Berikut
ini adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyoroti pandangan
Islam mengenai penimbunan.
Sekali-kali tidak
demikian, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupaskan
kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan berpaling (dari agama),
serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.
(QS. Al-Ma’arij [70] : 15-18).
“Abu
Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah biasa tidak menyimpan apa pun juga untuk
besok.” (HR. Tirmidzi)
Inti
dari larangan menimbun harta adalah karena kegiatan menimbun harta itu
menghalangi dan membantu beredarnya harta di masyarakat dan menjadikan harta
itu terkonsentrasi di tangan sedikit orang. Itu sama artinya dengan menjadikan
harta itu tersia-siakan dan akibatnya menyengsarakan hidup banyak orang.
13.
Yang
Terlarang
Cara ilegal dan haram yang dilakukan
oleh individu yang memiliki hak utama mengeruk keuntungan besar dengan merebut
bagian milik orang lain. Guna menghalangi terjadinya konsentrasi kekayaan dan
menjamin distribusi yang adil dan merata, Islam menetapkan larangan (berbagai
cara yang tidak jujur, tidak adil dan ilegal dalam mendapatkan harta). Beberapa
hal yang diharamkan yaitu :
a. Riba
atau bunga dalam segala bentuk
b. Suap
dan korupsi
c. Pendapatan
dari minuman keras, narkotika, judi, spekulasi, penjualan forward & games of chance.
d. Pencurian
dan perampokan (pelanggaran pidana)
e. Pendapatan
dari perzinaan, pelacuran,pornografi
f. Pemalsuan
dan pengoplosan barang
g. Makan
harta anak yatim
h. Menimbun
barang dagangan
i.
Tidak membayar hutang
j.
Penggelapan uang
k. Enggan
membayar zakat dan pajak
l.
Upah atau gaji pegawai yang tak
dibayarkan
m. Penyalahgunaan
wewenang guna mendapat keuntungan finansial
n. Pendapat
dari eksploitai,pemerasan, penipuan, pemalsuan.
Pandangan Al Quran mengenai cara
yang terlarang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tujuan dasar islam adalahmewujudkan kebahagiaan para
pemeluknya di dunia dan akherat, serta untuk mewujudkan persadaraan di antara
anggota masyarakat muslim. Tujuan ini dapat di capai jika distribusi kekayaan
di antara para anggota masyarakat Muslim berlangsung tidak adil: jurang antara
si kaya dan si miskin dan si miskin amat lebar serta konflik antar kelas
terjadi di masyarakat.
Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur,
dan merata, Islam menetapkan tindakan-tindakan yang positif dan prohibitif.
Tindakan positif seperti zakat, hukum pewarisan. Sedangkan tindakan
prohinitif mencakup dilarangnya bunga,
dilarangnya menimbun, dilarangnya minum dan judi dan tindakan lainnya yang
dilarang dalam Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Sharif Chaudhry, Muhammad. 2014. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar. Jakarta. Kencana.